7 Oktober 2013

Lembaga Tinggi Negara Sebagai Senjata Politik Partai Berkuasa


Setelah UUD 1945 diamandemen, Lembaga Tinggi Negara terdiri atas: Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR-RI), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPR-RI), Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA-RI), Mahkamah Konsitusi (MK-RI), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI). Lembaga Tinggi Negara merupakan institusi-institusi negara yang sejatinya ditujukan untuk kepentingan negara yang bertujuan untuk menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun apa jadinya bila Lembaga Tinggi Negara dijadikan sebagai senjata politik partai berkuasa?
Tentunya akan berdampak sangat buruk bagi stabilitas negara dalam segala bidang. Sebut saja yang saat ini sedang terjadi adalah telah tertangkap tangan ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar). Siapa yang menyangka bila seorang ketua Mahkamah Konstitusi juga ikut terlibat dalam konspirasi mafia peradilan hukum dengan menerima uang suap sebagai imbalan? Apakah kasus ini memang benar murni kasus mafia peradilan hukum atau ada konspirasi lain yang melibatkan partai politik berkuasa?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki tugas pokok dalam pemberantasan korupsi di Indonesia harus terbebas dari tekanan pihak manapun. KPK sebagai sebuah Lembaga Ombudsman harus bersih dari unsur-unsur politik dan bawaannya. Dalam kasus ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar), diperlukan penyidikan berimbang. Tidak hanya melihat dari bukti-bukti yang didapatkan untuk menjerat ketua MK tetapi juga harus memperhatikan apakah ada keterlibatan partai politik yang menginginkan kehancuran Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Tinggi Negara. Maka diperlukan para penyidik yang berani untuk menginvestigasi dan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi.

Kriminalisasi juga pernah dialami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung (MA-RI), dan kali ini menimpa Mahkamah Konstitusi (MK-RI). Mungkin suatu saat Lembaga Tinggi Negara lainnya, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) juga akan dikriminalisasi. Ini seperti sudah direncanakan dan sangat jelas terlihat, tinggal bagaimana cara menangkap otak dibalik kriminalisasi Lembaga Tinggi Negara.
Presiden SBY pun seolah-olah turut mendukung kriminalisasi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK-RI) dengan tidak mengundang perwakilan dari Mahkamah Konstitusi dalam sebuah pertemuan Lembaga Tinggi Negara.
Bagaimana dengan rakyat Indonesia, apakah rakyat mempercayai begitu saja kriminalisasi yang dilakukan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK-RI). Rakyat Indonesia harus lebih arif melihat bagaimana tindak-tanduk para wakil rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Begitu juga lebih selektif dalam memilih calon wakil rakyat (caleg) tahun 2014, agar tidak salah memilih demi Negara Kesatuan Republik Indonesia.