11 September 2013

Reformasi Mental Serta Pola Pikir Bangsa Indonesia

Rakyat Indonesia selalu merasa sebagai bangsa ramah tamah dan santun di dunia, tetapi ini kenyataannya hanyalah sekedar opini berlebihan. Mungkin jaman dahulu kala memang betul bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki tradisi dan adat kuat, terutama dalam bersilaturahmi antara "sesama-nya".

Kata sesama memiliki pengertian dan cakupan luas, tergantung pola pikir masing-masing orang. Kata sesama di Indonesia seringkali dibatasi sebagai suatu golongan atau agama tertentu. Sehingga mengebiri arti sebenarnya dari kata sesama. Hal ini juga berhubungan dengan sikap mental dari masing-masing orang di mana mereka berada dan bergabung dalam suatu organisasi tertentu.
Kata sesama secara universal berarti sesama manusia sebagai pribadi-pribadi unik tanpa melihat perbedaan-perbedaan latar-belakang.
Namun, sangat amat disayangkan bahwa di Indonesia pengertian kata sesama menjadi sangat bias. Hal ini terjadi terutama di kelompok agama tertentu, di mana faktanya mereka seringkali membeda-bedakan latar-belakang seseorang yang berasal dari agama lainnya untuk layak menerima bantuan atau perlakuan buruk.


Demikian pula dengan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan di Indonesia, faktanya begitu banyak organisasi kemasyarakatan yang dibentuk atas dasar keagamaan tertentu dan hanya memberikan bantuan kepada mereka yang memiliki kesamaan dalam agama yang dianut.

Inilah fakta, bagaimana bangsa Indonesia yang selalu merasa sebagai bangsa ramah-tamah dan santun menjadi sangat bertolak-belakang dengan realita sebenarnya. Kerusakan mental serta pola pikir buruk telah menjangkiti bangsa Indonesia tanpa memandang usia. Lantas, bagaimana cara memperbaikinya? Tentunya membutuhkan rentang waktu cukup lama untuk memperbaiki kerusakan yang sudah menyebar ini. Walau terlambat, tetap harus dilakukan perbaikan.
Pemerintah adalah wakil Tuhan di dunia, memiliki wewenang dan kekuatan untuk melakukan perubahan sebuah bangsa untuk menjadi lebih baik.
Pendidikan untuk memperbaiki kerusakan mental dan pola pikir adalah termasuk dalam pendidikan keagamaan dan psikologis. Perlu adanya reformasi dalam bidang pendidikan keagamaan yang menanamkan nilai-nilai keberagaman. Pemerintah Indonesia dalam hal ini harus memiliki mental lebih baik daripada rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian pemerintah dapat menjadi polisi ditengah keberagaman bangsa. Tanpa campur tangan pemerintah, perbaikan akibat kerusakan mental serta pola pikir bangsa akan sia-sia.