13 September 2013

Pemerintahan Dalam Masa Reformasi Indonesia

Presiden Soeharto Mundur Dalam Tekanan Reformis

Sejak kudeta presiden orde baru pada tahun 1998 oleh para pejuang reformasi, Indonesia selalu mengalami krisis dan kerusuhan massal. Banyak sekali organisasi-organisasi massa dan kelompok-kelompok tertentu dibentuk, sangat bertolak-belakang dengan kondisi pada masa orde baru yang tidak memberikan kebebasan dalam pembentukan sebuah organisasi massa. Pada masa orde baru, tidak ada aksi teroris yang merenggut banyak korban; swasembada pangan berjalan dengan sangat baik serta stabilitas perekonomian jangka panjang sehingga tidak terjadi lonjakan-lonjakan harga yang cukup berarti; tidak satupun organisasi massa berani melakukan razia-razia mengatasnamakan bulan suci ramadhan. Berbeda dengan masa reformasi, sering terjadi tindakan teroris yang memakan banyak sekali korban; swasembada pangan hanyalah sampai pada wacana pemerintah tanpa ada implementasi yang berarti; semakin banyak organisasi massa yang dengan bebas melakukan pengrusakan dan penghinaan terhadap masyarakat tertentu dan bahkan pelecehan terhadap institusi pemerintah; sistem perekonomian yang tidak stabil karena memberikan kebebasan pada ekonomi harga pasar dan memberikan kebebasan import tanpa pengendalian internal.


Wajah Reformasi Indonesia
Reformasi yang terjadi di Indonesia sangat tidak sehat. Berbekal sistem demokrasi, para pejuang reformasi berusaha melakukan perubahan dalam konstitusi negara yang diharapkan menjadi lebih berpihak kepada kekuatan rakyat. Tetapi kenyataannya rakyat tetap tidak memiliki hak untuk memilih langsung para wakilnya yang akan duduk di DPR/DPRD. Semua suara rakyat terlebih dahulu diakumulasi sebagai perolehan suara untuk partai-partai (bila terjadi kekurangan suara dapat melakukan koalisi) sehingga partai koalisi yang memiliki suara terbanyak akan lebih kuat dan memungkinkan untuk menempatkan tokoh-tokohnya menjadi presiden. Ini adalah cara memanipulasi suara rakyat yang secara langsung membodohi rakyat Indonesia oleh partai-partai. Ironisnya bahwa kursi presiden Indonesia bukan lagi sebagai kursi terhormat. Presiden Indonesia tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengatur rakyatnya, melainkan hanya menjadi boneka partai. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan sudah pasti menjatuhkan nama bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Presiden dengan bebasnya hanya menjadi bahan olok-olokan masyarakat dan para tokoh partai yang berseberangan pandangan. Perebutan kursi presiden Indonesia 2014 hanyalah sebuah retorika politik oleh partai-partai untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia hanyalah milik para tokoh-tokoh politik partai. Rakyat Indonesia hanya menjadi obyek untuk membesarkan nama partai. Kebijakan pemerintahan reformasi tidak lagi untuk kepentingan rakyat Indonesia, tetapi diutamakan untuk kepentingan partai-partai politik semata.

Masa reformasi Indonesia tidak lebih baik dari masa orde baru, bahkan memperburuk keadaan. Semua pejabat saling sikut. Masyarakat semakin tidak terkontrol dan cenderung melakukan tindakan-tindakan melawan hukum. Peningkatan pendapatan negara hanyalah angka-angka yang dimanipulasi untuk kepentingan penguasa, dan tidak menjadikan rakyat makmur dan sejahtera. Masyarakat Indonesia mengalami kerusakan mental dan pola pikir. Tanpa rekonsiliasi kebangsaan, maka tidak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang makmur dan sejahtera.